[Type the document title]
|
Daftar
Isi
|
Daftar Isi
ii
Bab
I Pendahuluan
3
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................3
1.2 Perumusan masalah ................................................................................ 6
1.3 Tujuan Penulisan …………………....................................6
Bab II Pembahasan
8
Daftar Pustaka 10
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri ritel merupakan industri yang strategis
bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Industri ini merupakan sektor kedua terbesar dalam hal penyerapan
tenaga kerja di Indonesia, yaitu menyerap sebesar 18,9 juta orang, di bawah
sektor pertanian yang mampu menyerap sekitar 41,8 juta orang. Perkembangan
industri ritel dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan sangat pesat.
Hal ini didorong oleh munculnya kebijakan yang pro terhadap liberalisasi ritel,
antara lain diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden No 96/2000 tentang
bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
tertentu bagi penanaman modal. Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak
adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam industri ritel. Setiap pelaku usaha
yang memiliki modal cukup untuk mendirikan perusahaan ritel di Indonesia, maka
dapat segera melakukannya. Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus
bermunculan. Salah satu alasan peritel asing mengembangkan bisnis ritelnya di
Indonesia adalah jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 230 juta jiwa yang
merupakan pasar potensial dimana penduduk Indonesia merupakan penduduk yang
konsumtif. Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) juga
menyatakan bahwa pertumbuhan industri ritel pada tahun 2011 meningkat 20 persen
dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan tersebut seiring dengan makin
berkembangnya populasi (Meryani, 2011). Peluang bisnis ritel ini membuat usaha
eceran pada pasar modern di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, hal ini
dapat dilihat dari munculnya perusahaan - perusahaan eceran besar baik asing
maupun lokal seperti Alfa, Carefour, Giant, Hypermarket, Ramayana, Maju
Bersama, Metro, Suzuya dan lainnya. Adanya berbagai macam bentuk Swalayan modern
ini, membuat beragam harapan konsumen terhadap pelayanan dan fasilitas yang
diberikan oleh swalayan- swalayan juga semakin tinggi. Keberagaman harapan
konsumen ini, mengakibatkan tingkat persaingan yang semakin tinggi antara
supermarket baik asing maupun lokal. Saat ini kota besar seperti Surabaya,
Bandung, Medan, Makasar, dan Semarang menjadi basis perkembangan supermarket.
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk
2.097.610 jiwa (BPS Kota Medan 2010) menjadi pasar yang sangat menjanjikan bagi
investor lokal maupun asing untuk dapat melakukan investasi dalam bidang bisnis
ritel. Salah satu perusahaan pengecer skala besar di Medan adalah Swalayan
Macan Yaohan yang berada di bawah naungan Macan Group. Macan Group didirikan
pada tahun 1985 dan selama ini tetap menfokuskan bisnisnya dalam supermarket
retailing. Di tengah pasar yang potensial dan menjanjikan bagi usaha eceran,
Swalayan Macan Yaohan mengalami penurunan jumlah transaksi. Hal ini dapat
dilihat dari tingkat kunjungan konsumen per tahun pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1
Jumlah Transaksi Konsumen Swalayan Macan Yaohan
Merak Jingga
Tahun
|
Jumlah
|
2008
|
435.988
|
2009
|
378.672
|
2010
|
252.112
|
Sumber: Macan Yaohan (2012)
Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan
jumlah transaksi konsumen yang berbelanja di swalayan Macan Yaohan dari tahun
ke tahun. Hal ini juga dikatakan oleh Pengamat Perbankan dan Ekonomi, Pandin
(2009), bahwa terjadi penurunan secara terus menerus pangsa pasar supermarket.
Ini menunjukkan bahwa format supermarket tidak terlalu favourable lagi. Sebab,
dalam hal kedekatan lokasi dengan konsumen, supermarket telah kalah bersaing
dengan minimarket yang umumnya berlokasi di pemukiman penduduk, sementara untuk
range pilihan barang, supermarket tersaingi oleh hypermarket yang menawarkan
pilihan barang yang jauh lebih banyak. Dalam kondisi persaingan seperti ini,
peritel yang tidak dapat mengantisipasi dan menerapkan strategi yang tepat akan
gulung tikar. Mengingat bahwa bisnis ritel adalah industri yang sangat dinamis,
sebagai cerminan dari masyarakat yang menjadi konsumennya, perubahan sekecil
apapun yang terjadi di masyarakat senantiasa berimbas pada sektor ritel. Upaya
untuk meningkatkan kegiatan pemasaran agar dapat bersaing dan mampu meraih
keunggulan kompetitif yakni melalui strategi bauran pemasaran eceran yang
terdiri dari place, product, price, promotion, personalia dan presentasi atau
penampilan. Store atmosphere merupakan salah satu elemen penting dari retailing
mix yang mampu mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen, karena dalam
proses keputusan pembeliannya konsumen tidak hanya memberi respon terhadap
barang dan jasa yang ditawarkan oleh pengecer, tetapi juga memberikan respon
terhadap lingkungan pembelian yang diciptakan oleh pengecer, seperti yang
dikemukakan oleh Levy dan Weitz dalam Permana (2008:5): “Customer purchasing
behavior is also influenced by the store atmosphere”. Artinya bahwa store
atmosphere juga dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Store
atmosphere merupakan suatu karakteristik yang sangat fisik dan sangat penting
bagi setiap bisnis yang berperan menciptakan suasana yang nyaman untuk konsumen
dan membuat konsumen ingin berlama-lama berada di dalam toko sehingga secara
tidak langsung merangsang konsumen untuk melakukan pembelian. Store atmosphere
yang dibuat semenarik mungkin dapat berakibat positif dan akan memberikan
keuntungan bagi perusahaan dan hal ini akan membuat konsumen untuk memutuskan
pembelian di toko tersebut. Swalayan Macan Yaohan menata atmosfir tokonya
melalui kondisi ruangan yang nyaman, pemutaran musik di dalam swalayan serta
penjaga toko yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang produk sehingga
memudahkan konsumen dalam mencari produk yang dibutuhkan. Namun sistem
pencahayaan yang terdapat pada swalayan Macan Yaohan kurang baik. Sistem
pencahayaan yang bagus akan memberikan kesan kemewahan dan memudahkan konsumen
dalam memilih produk. Display merupakan salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan
dalam melaksanakan promosi penjualan atau sales promotion. Display yaitu
pemajangan atau tata letak barang dagangan untuk menarik minat beli konsumen
agar terciptanya pembelian. Memajang barang sangat penting dilakukan oleh toko.
Dengan melihat barang dagangan, konsumen akan tertarik serta memudahkan
konsumen dalam memilih barang yang diinginkan. Display yang baik akan
mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian. Menurut Alma (2008:192),
display terbagi atas 3 (tiga) macam yaitu Window display, Interior display, dan
Exterior display.
Interior Display adalah pemajangan barang-barang,
gambar-gambar, kartu harga dan poster di dalam toko sehingga memberikan
informasi kepada konsumen. Interior display merupakan hal yang penting, karena
konsumen akan merasa nyaman berbelanja di sebuah toko jika interior display
yang dilaksanakan tersusun rapi dan menarik sehingga menciptakan keputusan
pembelian bagi konsumen. Pada umumnya konsumen menyenangi Interior Display
karena dapat memberikan kesempatan lebih banyak bagi konsumen untuk melihat,
memikirkan, memilih barang yang disenangi oleh konsumen, dan lebih memberikan
keaktifan pembeli untuk menentukan pilihannya. Adapun implementasi interior
display yang dilakukan oleh Swalayan Macan Yaohan agar dapat menarik perhatian
konsumen adalah barang pada gondola harus terisi penuh, apabila barang dalam
barisan depan sudah habis maka petugas harus memindahkan barang yang ada di
barisan belakang ke barisan depan, barang-barang yang dipajang di bagian lantai
depan kasir dalam berbagai bentuk adalah berdasarkan permintaan produsen dan disewakan
dengan harga yang lebih mahal dibandingkan bagian lain, serta tersedianya tanda
penunjuk lokasi produk sehingga memudahkan konsumendalam mencari barang yang
dibutuhkan. Namun kelemahan yang terdapat dalam swalayan Macan Yaohan yaitu
adanya sebagian produk yang tidak dicantumkan label harga pada raknya. Store
atmosphere dan Interior display sebagai salah satu dari bauran pemasaran ritel,
apabila telah sukses diterapkan oleh peritel, maka akan berpengaruh terhadap
perilaku pembelian konsumen yang akan berakhir pada pengambilan keputusan
pembelian. Keputusan pembelian merupakan perilaku pembelian seseorang dalam
menentukan suatu pilihan produk untuk mencapai kepuasan sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan konsumen.
Dalam penulisan ini penulis hanya menggunakan
variabel Store atmosphere dan Interior display sebagai salah satu dari retail
mix, hal ini dikarenakan dewasa ini konsumen lebih selektif dalam memilih model
belanja dan menentukan tempat untuk melakukan pembelian. Tren yang umum,
perubahan gaya hidup modern, serta teknologi yang canggih menjadi faktor utama
yang
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli.
Disini konsumen tidak hanya memperhatikan dari segi produk dan harga yang
ditawarkan saja melainkan perasaan nyaman ketika berada di dalam sebuah gerai
ataupun toko. Menurut Utami (2010:66) tempat belanja dan lingkungannya adalah
hal yang penting karena 70-80% keputusan pembelian dilakukan di tempat belanja
terutama ketika memeriksa barang. Untuk itu, manajemen ritel seharusnya mencoba
untuk menciptakan lingkungan tempat belanja yang memotivasi dan nyaman, dengan
interior tempat belanja dan pengaturan barang yang menarik. Sedangkan menurut
Kotler (2001:15), ketika seorang konsumen masuk ke suatu toko mereka tidak
hanya memberikan penilaian produk dan harga yang ditawarkan oleh retailer,
tetapi juga memberikan respon terhadap lingkungan yang diciptakan oleh retailer
melalui store lay out, display (penataan barang) yang kreatif, desain bangunan
yang menarik, pengaturan jarak antar rak, temperatur, dan musik yang
dilantunkan.
Hal ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi
produk yang dijual, tetapi juga menciptakan suasana yang menyenangkan bagi
konsumen sehingga konsumen tersebut memilih toko yang disukainya dan pada
akhirnya meningkatkan keputusan pembeliannya. Berdasarkan dari latar belakang
yang dikemukakan diatas, Penulis merasa perlu melakukan penulisan ini dengan
judul “Pengaruh Store atmosphere dan Interior display Terhadap Keputusan
Pembelian Konsumen pada swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan.”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan
masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Apakah store atmosphere dan interior display
berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen pada
swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan.
2. Apakah store atmosphere berpengaruh positif dan
signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen pada swalayan Macan Yaohan
Merak Jingga Medan.
3. Apakah interior display berpengaruh positif dan
signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen pada swalayan Macan Yaohan
Merak Jingga Medan.
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh store
atmosphere dan interior /display terhadap keputusan pembelian konsumen pada
swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh store
atmosphere terhadap keputusan pembelian konsumen pada swalayan Macan Yaohan
Merak Jingga Medan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
interior display terhadap keputusan pembelian konsumen pada swalayan Macan
Yaohan Merak Jingga Medan.
1.4. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, memberikan kesempatan untuk
menerapkan teori yang telah didapatkan di bangku perkuliahan dan menambah
wawasan dalam bidang pemasaran ritel yang dalam hal ini untuk mengetahui
pengaruh pengaruh store atmosphere dan interior display terhadap keputusan pembelian
konsumen pada swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan.
2. Bagi Program Studi, penulisan ini dapat digunakan
sebagai bahan literature dan kepustakaan mengenai store atmosphere dan interior
display dan pengaruhnya terhadap keputusan pembelian konsumen.
3. Bagi perusahaan, hasil penulisan ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi manajemen perusahaan ritel dalam penyusunan
store atmosphere dan interior display dalam upaya menciptakan keputusan
pembelian konsumen.
4. Bagi penulisan selanjutnya, penulisan ini dapat
menjadi bahan referensi dan bahan pertimbangan penulisan selanjutnya.
BAB2.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan responden pengusaha ritel
tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Gunungpati,
Mijen, Tembalang, dan Banyumanik. Jumlah pengusaha yang dijadikan responden sebanyak
120 orang. Dipilih empat kecamatan sebagai obyek penelitian karena pada
kecamatan tersebut merupakan wilayah pinggiran kota yang mulai dilirik peritel
modern. Responden sebanyak 120 orang pengusaha ritel tradisional terdiri dari
57 orang atau 47,50 % laki-laki dan 63 orang atau 52,50 % perempuan. Hal ini
menunjukkan bahwa usaha ritel tradisional merupakan usaha sampingan yang digunakan
untuk membantu menopang perekonomian keluarga, dimana laki-laki lebih berperan
untuk bekerja pada sektor formal.Untuk usia responden, baik laki-laki maupun perempuan
semuanya berada dalam usia produktif. Dalam hal ini usia produktif bisa dikatakan
juga sebagai usia kerja yaitu usia antara 17 tahun sampai 65 tahun. Berdasarkan
data di lapangan, bila di rata-rata usia responden adalah 44 tahun dengan
kisaran usia antara 17 tahun sampai 65 tahun. Dengan kondisi tersebut bisa dikatakan
bahwa para pengusaha ini masih memiliki semangat kerja yang tinggi untuk
menjalankan usahanya dan dimungkinkan juga untuk dilakukan pengembangan
terhadap usaha mereka. Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh semua
pengusaha ritel masih terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan
sehari-hari) hal ini lebih dikarenakan keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok
konsumen yang tentunya mempunyai segmen pasar yang lebih luas dan juga
kemudahan dalam penyediaan barang. Berdasarkan data di lapangan, semua
responden beragama Islam, hal ini lebih dikarenakan oleh mayoritas penduduk di masing-masing
wilayah obyek penelitian memeluk agama Islam. Untuk tempat kelahiran responden
,sebagian besar responden, 47 orang laki-laki (39,17 %) maupun 59 orang
perempuan (49,16 %) lahir di Kota Semarang. Sedangkan 14 orang (10 orang laki-laki
atau 8,33 % dan 4 orang perempuan atau 3,33 %) lahir di luar Kota Semarang.
Dapat dikatakan mayoritas responden merupakan penduduk asli Semarang, yang
tentunya akan sangat menguntungkan dalam menjalankan usahanya karena mereka
sudah sangat mengenal karakter lingkungannya. Hal ini juga didukung data di lapangan
yang menunjukkan bahwa semua responden saat ini berdomisili atau bertempat tinggal
di Semarang. Keadaan ini tentunya sudah disadari oleh responden bahwa faktor
efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan usaha harus diperhatikan, salah satunya
dengan berdomisili di daerah dimana usaha dijalankan. Sebagian besar responden
(sebanyak 48 orang atau 40%) yang terdiri dari laki – laki 25 orang atau 20,83
% dan perempuan 23 orang atau 19,17 % memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu
SD, serta masih ditambah responden yang mengisi lainya yaitu 7 orang atau 5,83
% . Jawaban lainnya muncul karena beberapa hal, yaitu: responden tidak pernah sekolah
dan responden sudah pernah mengenyam pendidikan dasar (SD) tetapi tidak tamat.
Dengan kondisi ini bisa dikatakan bahwa tingkat
pendidikan yang rendah ini akhirnya memaksa atau menuntut mereka untuk menciptakan
suatu usaha yang sesuai dengan kemampuan mereka sehingga pilihan terakhir adalah
dengan menjadi pengusaha ritel tradisional. Juga dipengaruhi oleh pola pemikiran
yang sederhana bahwa pendidikan tinggi tidak diperlukan tetapi yang terpenting adalah
bagaimana bisa mencari nafkah dan menambah pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Sedangkan
39 orang atau 32,5 % reponden lulusan SMA memilih menjadi pengusaha ritel
tradisional karena beberapa sebab, yaitu: jiwa wirausaha yang tinggi, sulitnya mencari
pekerjaan, serta tuntutan kebutuhan. Jarak tempat usaha responden dengan ritel modern
bila dirata-rata adalah 194 m, dengan range jarak tempat usaha antara 5 sampai dengan
500 m dari ritel modern. Dari data temuan di lapangan ini dapat dikatakan tidak
ada kejelasan mengenai berapa jarak yang ideal antara ritel tradisional dengan
ritel modern. Sehingga dengan kondisi ini sangat dimungkinkan dampak keberadaan
dari ritel modern memiliki pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan ritel
tradisional. Walaupun dalam ijin pendirian sudah disyaratkan mengenai kajian
dampak lingkungan dalam kenyataannya ritel modern tumbuh dengan pesat dan
muncul pro dan kontra akan keberadaanya.
BAB
3 . Daftar Pustaka
Departemen
Perdagangan RI dan PT Indef
Eramadani
(INDEF). 2007. “Kajian
Dampak
Ekonomi Keberadaan
Hypermarket
Ritel/ Pasar, Kerjasama
antara
Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Perdagangan Dalam
Negeri
(Ringkasan Eksekutif)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar