Welcome To My Paradise

Minggu, 15 November 2015

RESENSI 99 CAHAYA DILANGIT EROPA

Pengertian Resensi 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resensi adalah mempertimbangkan, pengulasan, penilaian sebuah buku. Seorang ahli bahasa, Gorys Keraf mendefinisikan resensi sebagai tulisan yang berisi tentang ulasan atau penilaian terhadap suatu karya tulis atau buku Oleh karena itu, resensi lebih dikenal dengan istilah ulasan atau bedah buku. Hal ini karena memang dalam resensi senantiasa mengulas sebuah buku baik buku fiksi atau nonfiksi, dari sudut pandang penilai (pembuat resensi) dengan berbagai norma-norma atau nilai – nilai yang ada. Resensi termasuk tulisan ilmiah yang memaparkan baik (keunggulan) dan buruk (kelemahan) suatu buku. Melalui resensi para pembaca dapat mengetahui isi suatu buku secara umum. Sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembaca untuk mengacu bacaan. Penulisan resensi dilakukan oleh orang yang mengerti tentang hal-hal yang terkait dengan isi buku tersebut serta paham dengan nilai- nilai atau norma- norma kebenaran yang ada. 

Judul Buku : 99 Cahaya di Langit Eropa
Penulis : Hanum Salsabila Rais, Rangga Almahendra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kelima, Desember 2012
Tebal : 392 hal

Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda. Fatma Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam. Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya.
             Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.

        
Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa. Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih.
          Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.

         Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.
              Pagi ini pagi yang biru. Sepanjang menanti bus ke kantor saya tak henti-hentinya bersyukur. Pada beberapa bagian saya menangis. Di bagian yang lain saya tersenyum getir. Semua perasaan yang campur aduk saat membaca kembali novel “99 Cahaya di Langit Eropa: perjalanan menapak jejak Islam di Eropa”. Novel yang menyadarkan saya kembali bahwa ada luka sejarah yang tak bisa terhapuskan. Islam pernah berjaya karena ilmu pengetahuan. Dan semua itu hancur tak lain karena nafsu manusia itu sendiri. Kesadaran saya disentil berkali-kali, teringat keadaan umat Islam, teringat kondisi diri yang masih jauh dari praktik nilai-nilai Islam secara kaffah, teringat kawan-kawan yang semangat berprestasi karena ingin menjadi agen muslim yang baik. Nah, Kawan, saya akan bercerita sedikit apa yang menarik dari novel ini.
               Novel “99 Cahaya di Langit Eropa” adalah karya Hanum Salsabiela Rais (putri Amien Rais) dan suaminya, Rangga Almahendra. Berisi tentang perjalanan Hanum saat sedang menemani sang suami studi doktoral di Eropa. Kisahnya dimulai saat Hanum, yang mengambil kursus bahasa Jerman, bertemu dengan Fatma, seorang warga Turki yang sudah lebih dulu menginjakkan kakinya di Eropa. Persahabatan yang erat membuat mereka lebih sering berbagi ilmu, apalagi Fatma adalah seorang muslimah yang membuat Hanum kagum, karena ia membawa misi agar Islam tetap baik di mata orang Eropa, dengan cara-cara yang elegan. Bagaimanapun, imagemuslim di Eropa tidak jauh dari apa yang diberitakan di media-media selama ini.
               Pada suatu hari, Hanum dibawa serta Fatma mengunjungi museum-museum di Wina, Austria. Alangkah terkejutnya Hanum karena begitu banyak persinggungan antara peradaban Islam dan Romawi. Hingga pada akhirnya, Fatma dan Hanum berniat untuk bisa menjelajah sudut-sudut Eropa lainnya, di mana terdapat jejak-jejak peninggalan peradaban Islam. Sayang, karena suatu hal, Fatma akhirnya kembali ke Turki. Hanum tidak tahu alasannya apa. Alhasil, Hanum mengajak serta suaminya untuk berkeliling Prancis, Spanyol, dan Turki. Perjalanan Hanum dan Rangga ke Paris, Granada, Al-Hambra, Mezqueta, Istanbul, dan tempat-tempat lainnya membuat mata mereka terbuka, apalagi sejak Hanum bertemu seorang mahasiswi Prancis yang memilih memeluk Islam setelah belajar sejarah mengenai peradaban Islam.
                Saya dulu sering membuka-buka buku tentang filsuf Islam, menulis sedikit jurnal, dan berdiskusi dengan kawan-kawan di kampus tentang Paradaban Islam yang sungguh menjunjung ilmu pengetahuan, serta menjadi jembatan bagi terciptanya Renaisance di Eropa sana. Tapi membaca novel ini, saya menemukan banyak cerita lain yang tidak terungkap, misalnya, bagaimana bisa Ibnu Rusyd, atau dikenal dengan nama Averroes di Eropa, menjadi bapak lahirnya Renaisance, dan dikenal dengan ‘theory of double truth’, yang mengatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan.
            Bagaimana bisa dalam lukisan Bunda Maria terdapat kalimat tauhid? Mengapa Mezquita, mesjid sekaligus pusat ilmu pengetahuan di Spanyol, bisa berubah fungsi menjadi gereja? Apakah Napoleon seorang muslim? Bagaimana Perang Salib menorehkan luka sejarah? Bagaimana pandangan orang Eropa terhadap muslim saat ini, dan apa yang seharusnya seorang muslim lakukan di sana? Masih banyak lagi detail-detail lain yang sayang untuk dilewatkan.Di akhir perjalanannya, Hanum sadar bahwa setelah ia berkeliling menemukan fakta-fakta yang tidak banyak orang tahu, ia harus melangkah menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Pada halaman 372, Hanum mengutip kata-kata Paulo Coelho:          

        
   Pergilah, jelajahilah dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan apa pun yang kau pilih akan mengantarkanmu menuju titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kautemukan di titik nol perjalananmu. Perjalanan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaanPada intinya, novel ini ingin menyampaikan pesan pada setiap muslim untuk kembali kepada ilmu pengetahuan, membaca sekitar, menghargai perbedaan, dan mendorong umat Islam untuk mempelajari sejarah agar bisa lebih bijak, alih-alih terjebak pada definisi ‘jihad’ yang saat ini hanya identik dengan pedang, tapi tidak dimaknai dengan perantaraan kalam.Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.
         Hanum menyusul suaminya ke Wina, Austria yang mendapat beasiswa studi doktoral. Kemampuan bahasa Jerman yang minim membuat Hanum menjalani kursus bahasa Jerman. Selama kursus itulah Hanum berkenalan dengan Fatma, wanita asal Turki yang berhasil menggugah jiwa kelana Hanum untuk menyusuri jejak Islam di Eropa.Fatma yang notabene hanya seorang ibu rumah tangga ternyata memiliki wawasan luas tentang sejarah Islam di Eropa. Bukan hanya itu, kebesaran hati seorang Fatma yang menerima cerca dari kalangan non muslim menyadarkan Hanum, bahwa Islam seharusnya dimaknai luar dan dalam. Bukan sekedar casing  yang Islam, namun jiwa dan pikiran kaum bar-bar.
             Sayangnya Fatma tiba-tiba menghilang setelah mereka mengikat janji akan berkelana bersama menapaki jejak Islam yang ada di Spanyol, Perancis, dan Turki yang pernah berjaya pada masanya. Demi memenuhi janji itu Hanum kemudian mulai menjelajah sendiri bersama suami.Paristhe Light of City, kota yang paling terang cahayanya di Eropa. Kota yang menjadi pusat peradaban paling maju di Eropa. Kota yang pertama kali Hanum kunjungi untuk mengendus keberadaan Islam pada jaman dulu.Hanum sungguh tercengang ketika mengunjungi Museum Louvre, museum dengan koleksi paling lengkap di dunia, museum yang  menyimpan lukisan Monalisa yang terkenal itu. Bagi Hanum, Monalisa dengan senyum misterius kalah menarik dengan lukisan Bunda Maria yang ujung kain kerudungnya terdapat tulisan kalimat tauhid atau piring-piring hias bertulis Arab Kufic.
             Marion Latimer seorang pemandu yang baik, seorang Perancis yang memeluk Islam. Seorang peneliti di Arab Institut Paris berhasil menjawab rasa penasaran Hanum akan berbagai hal dalam museum yang mengandung nafas Islam, termasuk makna tulisan pada hijab Maria dan arti kata pada piring-piring bertuliskan Arab Kufic.Bukan hanya itu, Marion juga menunjuki sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa bangunan pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa mulai dari La Defense, Arc du Triomphe de I’etoile, Champ Elyses, Obelisk, Arc du Triomphe du Carrousel, Louvre jika ditarik garis lurus imajiner akan menembus langsung ke arah Ka’bah.
Timbul sebuah praduga, mungkinkah Napoleon Bonaparte seorang muslim?Cordoba di Spanyol merupakan kunjungan kedua Hanum untuk melihat Mezquita.

        
Sebuah masjid yang beralih fungsi menjadi gereja dengan nama The Mosque Cathedral.  Siapa sangka Cordoba dulu adalah kota seribu cahaya. Kota yang menginspirasi banyak orang di Eropa. Kota yang menerangi abad kegelapan di Eropa. Kota yang memiliki ilmu pengetahuan dan keharmonisan antar umat beragama pada masanya. Kota yang melahirkanthe double truth doctrine dari seorang filsul Ibnu Rushd atau Averroes, dua kebenaran yang tidak terpisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan/sains. Sayangnya orang Eropa menjadi trauma karena agama yang mereka anut sebelumnya menyebabkan kegelapan pada masa kekuasaan gereja bersifat mutlak. Sekarang, orang Eropa lebih percaya sains. Seperti ajang balas dendam siapa yang lebih menguasai siapa. Jika dulu agama khususnya Kristen menguasai sains, kini giliran sains yang memberangus agama. Tak heran jika kini mayoritas masyarakat Eropa menganut paham sekuler yang melahirkan golongan ateis.
             Belum lengkap rasanya jika ke Spanyol tanpa mengunjungi Granada, Istana Al-Hambra. Tempat terakhir Islam bertahan di Eropa. Sayang, the royal couple, Isabella-Ferdinand yang memiliki kekuasaan besar berhasil membuat Granada jatuh ke tangannya untuk kemudian melakukan pembaptisan masal orang-orang muslim yang menjadi mayoritas masyarakat Granada. Sebuah email mengejutkan datang dari Fatma membuat Hanum ingin segera mengunjungi imperium Islam terakhir pada masa Dinasti Usmaniyah atau Ottoman di Turki sekaligus menengok kawan lama Fatma Pasha. Ini menjadi perjalanan terakhir Hanum dalam mengarungi samudera peradaban Islam di Eropa.
             Pada akhirnya, kata-kata Paulo Coelho dalam buku The Alchemist, ‘Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk menemukan jalan pulang. Sejauh apa pun kakimu melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal.’  Membawa Hanum menjejak ke titik awal dari sebuah perjalanan panjang Islam di sebuah kota Mekah di satu titik pusat Ka’bah. Di mana kalimat tauhid masih bergema dari jutaan manusia pencari cahaya.

Kesimpulan :
Kehancuran Islam di Eropa adalah karena setitik nila perang saling menguasai yang menyebabkan trauma berkepanjangan. Jika proses masuknya Islam terus konsisten melalui cara damai seperti di Indonesia tentulah, Eropa hingga kini masih bercahaya sebagaimana Cordoba berhasil menerangi abad gelap di Eropa.
Kini minoritas Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras menjadi lembut,  seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta damai.
Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang berujung anarkhis seperti di Indonesia.
Sudah saatnya umat Islam belajar dari kegagalan Islam berjaya di Eropa. Nafsu untuk menjadi lebih, nafsu untuk menguasai, dan nafsu merasa paling benar atas nama agama hanya akan memperburuk citra Islam di mata dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar